Danjika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu khauf, maka lihatlah apa yang telah kau berikan kepada-Nya.” Rajā’ bukan semata-mata berharap, rajā’ harus disertai dengan perbuatan. Jika rajā’ hanya berupa harapan tanpa perbuatan, maka tidak lain itu hanyalah sebuah angan-angan atau impian belaka.
Apa itu musyahadah? musyahadah adalah kata yang memiliki artinya, silahkan ke tabel berikut untuk penjelasan apa arti makna dan maksudnya. Pengertian musyahadah adalah Kamus Definisi Malaysia Dewan ? musyahadah Ar hal menyaksikan hakikat-hakikat ghaib dlm kasyaf menurut ajaran sufi; Definisi ? Loading data ~~~~ 5 - 10 detik semoga dapat membantu walau kurangnya jawaban pengertian lengkap untuk menyatakan artinya. pada postingan di atas pengertian dari kata “musyahadah” berasal dari beberapa sumber, bahasa, dan website di internet yang dapat anda lihat di bagian menu sumber. Istilah Umum Istilah pada bidang apa makna yang terkandung arti kata musyahadah artinya apaan sih? apa maksud perkataan musyahadah apa terjemahan dalam bahasa Indonesia
TAHUN2017. BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tasawuf merupakan salah satu bidang studi islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia. Tasawuf mulai mendapat perhatian dan dituntut peranannya untuk terlibat secara aktif dalam mengatasi masalah-masalah keduniawiaan.
PENDAHULUAN Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah tersebut melahirkan tasawuf. Tasawuf pada awal pembentukkannya adalah akhlak atau keagamaan yang diatur dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Banyak tokoh-tokoh yang ada dalam ilmu tasawuf, sehingga banyak pula perbedaan aliran. Tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung dengan Allah SWT. Tercapainya tujuan bisa kita raih dengan usaha yang panjang dan penuh rintangan. Hal itu bisa di mulai secara bertahap. Di dalam perjalanan menuju Allah tersebut, kaum sufi harus menempuh berbagai tahapan, yang dikenal dengan maqamat dah ahwal. Kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan. Maqamat dan ahwal adalah dua hal yang biasa dialami oleh orang yang menjalani tasawuf sebelum sampai pada tujuan. Dan kami akan membahas tentang musyahadah yang termasuk dalam tahapan ahwal, dan juga merupakan salah satu tahapan yang penting dalam tasawuf untuk mencapai ma’rifat kepada Allah. Yang dalam karya kami ini akan membahas apa pngertian musyahadah, tingkatan-tingkatannya dan bagaimana tahapan untuk mencapai musyahadah itu sendiri. PEMBAHASAN Pengertian Musyahadah Kata musyahadah adalah menyaksikan dengan mata kepala, tetapi dalam terminologi tasawuf diartikan menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya itu. Dalam hal ini apa yang dicari seorang sufi adalah Allah. Jadi ia telah merasa berjumpa dengan Allah. Muhadharah dan mukasyafah adalah dua kata yang hampir sama maksudnya dengan musyahadah. Kalau dapat diartikan sebagai adanya perasaan hadirnya atau beradanya Allah dalam hatinya, maka sebagai kelanjutannya terjadilah mukasyafah, yaitu tersingkapnya tabir yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah. Dengan demikian tercapailah musyahadah. Orang yang memperoleh muhadharah disebut hudhur, yaitu apabila seseorang telah merasakan hadirnya Allah dalam hatinya secara terus-menerus sehingga yang yang dirasa dan diingatnya hanya Allah Swt.[1] Dari segi bahasa musyahadah itu berasal dari rumpun kata Syahida-Shaahada yg mempunyai arti bersaksi atau menyaksikan, oleh karna itu seseorang belum dpt untuk dikatakan sebagai seorang Islam jika orang tersebut belum menyatakan akan dua kalimat syahadat. Didalam bermusyahadah ini juga sangatlah di butuhkan sebab segala peristiwa atau kejadian itu yg pertama di tanyakan adalah adanya penyaksian atau saksi. Pokoknya orang yang ingin mencapai musyahadah kepada Allah hanya akan bisa dicapai dengan mujahadah dan senantiasa taqarrub dengan billah dan melanggengkan dzikrullah, disertai kebersihan hatinya. Pada hakikatnya musyahadah itu adalah merasakan berhadapan dengan Allah dan bersama Allah atau yang dinamakan “hudlurul qalbi”. Mengingat Allah dengan sepenuh hati, artinya dengan hati yang khusyu’ saat melakukan dzikrullah dan bertaqarrub kepada Allah. Dalam konteks hubungan dengan “Menyaksikan Allah” dan “Seakan-akan menyaksikan Allah”, maka ada sejumlah ayat, misalnya ketika Nabi Musa as, berhasrat ingin menyaksikan dan melihat Allah. “Musa as berkata Ya Tuhan, tampakkan diriMu padaKu, aku ingin memandangMu.” Allah menjawab, “Kamu tidak bisa melihatKu” al-A’raf 143. Ayat lain menyebutkan, “Kemana pun engkau menghadap, disanalah Wajah Allah.”Al-Baqarah 115. “Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepatuhan Al-An’aam 79”. Setelah mencapai musyahadah ini, kemudian menanjak lagi ke tingkat al-Mukasyafah atau terbukanya segala rahasia artinya tiada tertutup lagi sifat-sifat ghoib. Maksudnya terbukalah rahasia alam ghoib yaitu tiada tertutup dari sifat-sifat ghoib. Setelah itu barulah seseorang dapat mencapai tingkat al-musyahadah. Menurut al Junaidi al Baghdadi “Al Musyahadah adalah nampaknya Al-Haqqu Ta’ala dimana alam perasaan sudah tiada.[2] Tingkatan Musyahadah Menurut Al Sarraj, musyahadah adalah hal yang tinggi, ia merupakan gambaran-gambaran yang menambah hakikat keyakiinan. Tingginya hal Musyahadah ini ditunjukkan oleh firman Allah, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”. QS. Qaf 37. Menyaksikan dalam ayat ini berarti menghadirkan hati atau kesaksian hati bukan dengan mata. Hal Musyahadah ini dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan seorang hamba dengan Allah. Menurut Al sarraj ahli Musyahadah terbagi atas tiga tingkatan Tingkat pertama, adalah kelompok Al Ashagir pemula, yakni mereka yang berkehendak. Tingkat kedua, kelompok pertengahan Al-Awsath. Dalam pandangan kelompok ini Musyahadah berarti bahwa ciptaan ada pada genggaman Yang Haq dan pada kerajaan-Nya. Tingkat ketiga seperti yang diterangkan Al Makki, hati kaum arifin ketika menyaksikan Allah sesungguhnya menyaksikan dengan kesaksian yang kokoh Musyahadah adalah nampaknya Allah pada hambanya dimana seorang hamba tidak melihat sesuatu apapun dalam beribadah, kecuali hanyalah menyaksikan dan meyakini dalam hatinya, bahwa ia hanyalah berhadapan dan dilihat oleh Allah SWT. Dalam beribadah ia tidakmenghiraukan lagi terhadap sesuatu yang disekelilingnya, termasuk dirinya sendiri karena asyiknya berhubungan dengan Allah seakan-akan Allah benar-benar nampak dihadapannya. Seorang akan dapat mencapai musyahadh billah, jikalau ia melakukan mujahadah fil amal dan sebelumnya telah mencapai maqam fana’ atau memunafikkan tujuan lain selain daripada Allah. Ibadahnya hanya semata-mata ditujukan dan dihadapkan kepada Allah dan sama sekali bebas dari unsur riya’. Tahap-tahap dalam Musyahadah Adapun terjadinya musyahadah adalah dengan adanya nur musyahadah yang terpancar dalam hati seseorang. Dan terjadinya musyahadah ini melalui tiga tahap yaitu Nur musyahadah pertama, adalah yang membukakan jalan dekat kepada Allah. Tanda-tandanya ialah seorang merasa muraqabah/ berintaian dengan Allah. Nur musyahadah kedua, adalah tampaknya keadaan “adamiah” yakni hilangnya segala maujud, lebur kedalam wujud Allah dan baginyalah wujud yang hakiki. Nur musyahadah ketiga yakni tampaknya Dzatullah yang maha suci. Dalm hal ini bila seorang telah fana’ sempurna, yaitu diantaranya telah lebur dan yang baqa’ hanyalah wujud Allah. Musyahadah ini masuk pada hati seorang hamba Allah yang telah melakukan mujahadah fil ibadah dengan cara memfana’kan diri terlebih dahulu, mengikhlaskan dirinya dalam beribadah dan menghilangkan sifat-sifat yang menjadi penghalangnya musyahadatur rabbaniyah. Karena itu ada pula yang mengatakan bahwa musyahadah bisa dicapai melewati pintu mati. Selanjutnya jalan yang ditempuh untuk sampai pada musyahadah dengan Allah melalui pintu mati dalam pengertian matinya nafsu untuk hidupnya hatidapat ditempuh pada 4 tingkat yaitu Mati tabi’i Menurut sebagian ahli thariqat, bahwa mati thabi’i terjadi dengan karunia Allah pada saat dzikir qalbi didalam dzikir lathaif. Dan mati tabi’i ini merupakan pintu musyahadah pertama dengan Allah. Mati ma’nawi Menurut sebagian ahli thariqat bahwa mati ma’nawi ini terjadi dengan karunia Allah pada seseorang salik saat melakukan dzikir Lathifatur Ruh. Dalam dzikir lathifatur Ruh itu sebagai ilham yang tiba-tiba nur Ilahi terbit dalam hati. Ketika itu penglihatan secara lahir menjadi hilang lenyap dan mata batin menguasai penglihatan. Mati suri Mati suri ini terjadi dengan karunia Allah pada saat seseorang salik melakukan dzikir lathifatus sirri dalam dzikir lathaif. Pada tingkat ketiga ini, seorang salik telah memasuki pintu musyahadah dengan Allah. Ketika itu segala keinsanan lenyap/fana’ alam wujud yang gelap telah ditelan oleh alam ghaib/alam malakut yang penuh dengan nur cahaya. Dalm pada ini yang baqa’ adalah nurullah, nur shifatullah, nur asmaullah, nur dzatullah dan nurun ala nurin. Untuk mencapai keadaan musyahadah seperti tersebut diatas adalah dengan mujahadah, niscaya Allah akan memperbaiki sirnya/hatinya dengan musyahadah. Apabila seseorang telah mendapatkan karunia Allah dengan musyahadah, maka dengan sendirinya akan lenyaplah segala hijab dari sifat-sifat basyariah, nampaknya Allah atau tajalli.[3] DAFTAR PUSTAKA Mayasari, Lutfiana Dwi, Ajaran Pokok Tasawuf Maqaamat dan Ahwal, diakses dari tanggal 22 November 16 pukul WIB. Senali, Moh Saifulloh, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya Terbit Terang, 1998. Siregar, Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta Raja Grafindo Persada, 1999. [1] Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, 1999, Jakarta Raja Grafindo Persada, hlm. 138. [2] Moh Saifulloh Senali, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, 1998, Surabaya Terbit Terang, hlm. 57. [3] Lutfiana Dwi Mayasari, Ajaran Pokok Tasawuf Maqaamat dan Ahwal, diakses dari tanggal 22 November 16 pukul WIB.
ImamGhazali tak hanya menjalankan tindakan-tindakan sufi, melainkan juga menulis buku-buku tasawuf. Karyanya yang paling gemilang di bidang ini adalah Ihya’ Ulum al-Din.Sejauh yang bisa dilihat dari karyanya ini, diketahui bahwa corak tasawuf al-Ghazali lebih dekat kepada tasawwuf khuluqi-‘amali ketimbang tasawwuf falsafi.Tak hanya bersandar
MUKASYAFAH Mukasyafah merupakan salah satu cara dari proses menuju Ma’rifatulloh. Ma’rifat memiliki hubungan erat dengan mukasyafah. Dimana merupakan ajaran atau jalan menuju kesucian jiwa untuk memasuki hadharat Al-qudsiyat hadirat kesucian atau hadharat ar-rububiyat atau hadirat ketuhanan. Dalam keadaan seperti itu manusia bisa memperoleh kepuasan intelektual hakiki yang tak terlukiskan. Namun mukasyafah dapat terhalang oleh hati yang sifatnya qolb atau selalu berbolak balik dengan segala keinginan,kemauan,resah,gelisah bimbang dan karenanya pada kesempatan kali ini mari kita coba menguraikan apa itu mukasyafah, bagaimana terjadinya mukasyafah, dan penghalang mukasyafah. Mukasyafah secara lughawi bahasa, istilah mukasyafah bermakna terbukanya tirai, atau peristiwa ketersingkapan dan keterbukaan tabir penghalang, maksudnya adalah terbuka segala rahasia alam yang tersembunyi, pengertian atau hal yang gaib. Mukasyafah berarti kondisi keterbukaan hati sehingga dapat menyingkap atau mengetahui hakikat sesuatu. Istilah ini berasal dari kata “kasyf” berarti tersingkap atau terbuka dari tabir. Kasyf merupakan uraian tentang apa yang tertutup bagi pemahaman, kemudian tersingkap bagi seseorang seakan-akan dia melihat dengan mata telanjang meskipun pada hakikatnya adalah mata batin. Kasyf merupakan keterbukaan rahasia-rahasia pengetahuan hakiki. Dalam kitab Risalah Al-Qusyairiah dijelaskan tentang mukasyafah yaitu, “Mukasyafah adalah hadirnya dengan sifat yang jelas, yang dalam keadaan ini tidak memerlukan pemikiran dengan dalil”. Dalam Tafsir al-Qurthubi, di jelaskan“Maka terbukalah hijab tutupan, lalu mereka melihat kepada-Nya. Demi Allah, tidak pernah Allah memberikan kepada mereka sesuatu yang amat menyenangkan mereka, kecuali penglihatan itu mukasyafah”. Dahlan Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Jampesi Al-Qadiry, dalam kitabnya Siraj Ath-Thalibin mengatakan, “bahwa ilmu mukasyafah adalah nur yang nyata di dalam hati ketika pembersihannya, maka tampaklah di hati itu pengertian-pengertian menyeluruh merupakan hasil makrifatullah ta’ala, makrifat kepada asma-Nya, sifat-Nya, kitab-kitab-Nya dan makrifat kepada rasul-rasul-Nya dan terbukalah segala tutpan dari segala rahasia-rahasia yang tersembunyi “. Di dalam kitab ihya ulumuddin, “ beserta penjelasannya mengemukakan titik rahasia-rahasia yang terbuka inilah yang diperintahkan menyembunyikannya karena tidak ada tertulis dalam kitab-kitab. Sesungguhnya hal itu adalah rangkuman segala ilmu perasaan djauqy yang terbuka cerah didapat dari musyahadah tanpa dalil dan keterangan”. Selanjutnya Syaikh AL-Kiram Alimul “Allamah Muhammad Ihsan Dahlan Al-Jampesi Al-Qadiry menegaskan bahwa mukasyafah itu bersumber dari hadits Rasulullah SAW yang dijelaskan sebagai berikut ini “Dalam hal ini adalah ilmu yang amat halus atau tersembunyi yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya bahwa “Sesungguhnya ilmu itu adalah laksana barang berharga yang tersimpan. Tak ada yang dapat memahaminya kecuali golongan arif billah. Bila mereka bicara tentang ilmu itu, tidak ada yang menyepelekannya kecuali golongan ightirar berhati lalai.” Kasyf atau Mukasyafah baru akan diperoleh setelah adanya ilham,laduni dalam bashiroh,muhatthab dan rukyatus terjadi pada jiwa yang mutmainnah yaitu jiwa yang tenang tenteram. Al-Ghazali menyebutkan bahwa kasyf adalah epistemology pengetahuan yang tertinggi karena terbukanya cahaya-cahaya atau informasi-informasi ghaib ke dalam jiwa manusia. Jadi, kasyf adalah pemahan intuitif yang berbeda dengan pemahaman inderawi dan pemahaman rasional. Al-Kasyf merupakan kebalikan dari pembuktian rasional yang diyakini oleh kalangan teolog dan filosof. Al-Kasyf berhak disandang oleh qalb, sedangkan pengetahuan sensual dan rasional lebih berhak diperoleh indera dan akal manusia. Menurut Risalah Al-Qusyairiah mukasyafah terjadi setelah muhadharah. Dimana muhadharah berarti kehadiran kalbu, setelah itu baru mukasyafah, yakni kehadiran kalbu dengan sifat nyatanya, lalu musyahadah, yaitu hadirnya Al-Haq terang ,jelas,terang,tanpa memerlukan pemikiran,dalil atau burhan dan bertahap muhadharah selalu terikat dengan ayat-ayat-Nya. Dan orang yang mukasyafah terhampar oleh Sifat-sifat-Nya. Sedangkan orang yang musyahadah ditemukan Dzat-Nya. Orang yang muhadharah ditunjukan akalnya. Orang yang mukasyafah didekatkan ilmunya. Dan orang yang musyahadah dihapuskan oleh ma’rifatnya. Ilmu mukasyafah tidak bisa disamakan dengan ilmu-ilmu eksak dan sebagainya, umumnya memiliki metode-metode dan sistematika tertentu. Imam Al-Ghazali menyebutnya sebagai fauqa thuril aqly diatas puncak akal. Peredaran aqal yang paling tinggi adalah pada batas titik optimum yang kemudian dapat menurun kembali. Adapun ilmu ini berada pada orbit yang tidak mungkin dapat dicapai oleh akal. Hal itu hanya dapat diketahui dengan nur dari yang maha pencipta akal, yaitu Allah SWT. Peristiwa mukasyafah adalah sesuatu keadaan yang bersifat indifidual, untuk pribadi-pribadi yang dikehendaki Allah dan berfungsi sebagai rahasia tersembunyi yang hanya diketahui si penemu dan Allah SWT. Penyebaran berita atas apa yang ditemukan itu secara luas ada kemungkinan banyak mendatangkan fitnah tuduhan-tuduhan negative atau dapat menimbulkan perasaan ujub rasa hebat sendiri yang akibatnya dapat menghancurklan nilai-nilai penemuan. Untuk hal ini Imam At-Thustury menegaskan Ilmu terbagi atas tiga macam Pertama ilmu dhohir lahir yang seyogianya ilmu ini disampaikan kepada umum. Kedua ilmu bathin yang tidak seharusnya disampaikan secara luas, kecuali kepada ahlinya. Ketiga, ilmu antaranya dan Allah yang tidak selayaknya disampaikan kepada siapapun juga.
TASAWUFmerupakan fase terakhir dari perkembangan pemikiran Imam al-Ghazali. Pada fase ini, al-Ghazali menemukan apa yang dinamakannya ‘hakikat kebenaran’. Hakikat kebenaran itu diperolehnya setelah mengalami skeptisme berat. Ia menceritakan pengalamannya itu di dalam sebuah kitab berjudul “ al-Munqidz min al-Dhalâl ”.
MUHADHARAH, MUKASYAFAH, DAN MUSYAHADAH Muhadharah adalah kehadiran hati, kemudian setelah itu terjadi mukasyafah, yaitu kehadiran hati yang disertai kejelasan ketersingkapan, kemudian timbul musyahadah, yaitu kehadiran Al-Haqq dalam hati tanpa bingung dan linglung. Jika “langit sirri” rahasia ketuhanan bersih dari “mendung sitru”, maka “matahari kesaksian” terbit dari bintang kemuliaan. Hakikat musyahadah seperti yang dikatakan Imam Al-Junaid, semoga Allah merahmatinya, “Wujud Al-Haqq bersama kelenyapanmu. Salik yang mengalami muhadharah terikat dengan ayat-ayat-Nya. Salik yang mencapai mukasyafah dilapangkan dengan sifat-sifat-Nya. Dan salik yang memiliki musyahadah ditemukan dengan Dzat-Nya. Salik yang muhadharah akalnya menunjukkannya. Salik yang mukasyafah ilmunya mendekatkannya. Dan salik yang musyahadah ma’rifatnya menghapusnya.” Tidaklah bertambah penjelasan mengenai hakikat musyahadah kecuali diperkuat dengan apa yang diutarakan Amru bin Utsman Al-Maki, semoga Allah merahmatinya. Inti ucapan yang disampaikannya adalah menerangkan bahwa hakikat musyahadah adalah cahaya-cahaya tajalli yang datang susul-menyusul pada hati salik tanpa disusupi sitru dan keterputusan, sebagaimana susul-menyusulnya kedatangan kilat. Malam yang gelap gulita dengan disertai kilat yang datang susul-menyusul dan sambung menyambung dapat menjadikannya terang seperti dalam siang. Demikian juga hati jika senantiasa diterangi dengan keabadian tajalli, maka kenikmatan “anugerah siang” kiasan tentang kontinuitas anugerah keilahian dan ketersingkapan ketuhanan dengan pemanjangan waktu siang hingga menjangkau malam hari akan selalu mengada, sehingga malam tidak lagi ada. Mereka bersyair malamku dengan wajah-Mu terbit bersinar cahaya kegelapannya pada manusia berjalan di waktu malam manusia dalam kepekatan malam yang gelap gulita sedang kami dalam cahaya siang yang terang benderang An-Nuri berkata, “Tidak sah musyahadah salik selama dia dalam keadaan hidup. Jika waktu pagi terbit, lampu tidak dibutuhkan lagi.” Segolongan ulama sufi membayangkan bahwa musyahadah menunjukkan keberadaan ujung taftiqah perpisahan, lihat pasal arqu karena bab mufa’alah timbangan kata dalam bahasa Arab hanya terjadi dalam penerapan di antara dua makna. Ini jelas menunjukkan khayalan pelakunya karena di dalam penampakan AI-Haqq adalah kehancuran makhluk. Dalam syair dikatakan ketika menjadi terang pagi hari cahayanya memancar dengan sinar-sinar yang berasal dari pantulan sinar-sinar bintang meminumkan pada mereka segelasdemi segelas saat cobaan membakar sehingga membuatnya terbang secepat orang yang pergi menghilang Gelas apapun akan mencabut mereka dari akamya dan membuat mereka fana’ hancur. Gelas menyambar mereka dan tidak membiarkan mereka, tetap dalam keberadaan. Padahal tidak ada gelas yang menetapkan dan memercikkan mereka. Gelas yang mencabut mereka secara keseluruhan dan tidak sedikit pun tulang-belulang manusia yang masih membekas dan ada , adalah seperti yang dikatakan sufi “Mereka berjalan di malam hari tidak tetap, tidak membekas dan tidak meninggalkan jejak.” ………………. Keterangan Dalam pengertian ini Allah berfirman “Kalau sekiranya Kami turunkan AI-Quran ini pada gunung, niscaya engkau melihatnya tunduk tersungkur terpecah belch disebabkan takut kepada Allah.” QS. AI-Hasyr- 21 sumber
AlJurairy berkata, “siapa yang tidak mengukuhkan taqwa dan muraqabah kepada Allah, tidak akan mencapai mukasyafah dan musyahadah .”. Ibnu Atha’ berkata, “ibadah yang paling baik adalah muraqabah kepada Allah setiap saat.”. Dengan selalumengingat dan pengakuan dosa secara jujur dan bertaubat ( mudzakarah), introspeksi diri ( muhasabah
PENGENALAN ~ Makrifah, Mukasyafah, Musyahadah, Mahabbah & Muhith. Orang yang terang pandangan mata hatinya, tidak akan pernah nampak kesalahan melainkan Haq.. Sesungguhnya Makrifatullah itu kenal, Mukasyafatullah itu amal, Musyahadatullah itu yakin, dan Mahabbatullah itu asyik.. Dan ketahuilah bahawa semuanya itu belumlah sempurna sebelum mencapai Al-Dzatti Muhithullah.. Pintu yang berlapis ini berada dalam QALBUN mu, maka bersegeralah.. MAKRIFAH itu adalah awal pengenalan pada hal perjalanan kerohanian, bukanlah puncak seperti faham kebanyakkan.. Kerana makrifah itu berada dalam firman Allah "Awaluddin Makrifatullah." Seawal Agama Diri itu mengenal ALLAH.. Dalam pengenalan ini, maka terdedahlah seseorang itu dengan pemahaman dan pengenalan istilah dalam Ilmu Tasawwuf itu sendiri.. Dan ini dapat dicerna oleh akal dan fikir manusia yang hakikatnya masih sangat terbatas di sisi ALLAH.. Karna di sisi adalah perihal alam angan dan budi.. Iaitu menyusun istilah kepada tubuh zahir dan batin dengan tanpa melihatnya melainkan hadir dalam rasa.. Dan rasa di sini masih sebenarnya bercampur antara rasa hati dan rasa hawa nafsu, iaitu bercampur dua rasa dalam perasaan kita.. Inilah perlambangan matahari dalam fikiran kita.. Bacalah surah As-syams, di sanalah buktinya.. MUKASYAFAH itu adalah amal kita setelah kita mengetahui kefahaman dan istilah makrifah, untuk membuka tirai hijab kita dengan ALLAH, iaitu akal dan nafsu kita yang selalu menunggangi fikiran kita dalam menebarkan kekuasaannya yang tertuju kepada duniawi atas wadah ukhrawi.. Maka amal kita itu adalah membenam nafsu, akal dan budi yang menjadi hijab penyaksian kita kepada ALLAH.. Inilah perlambangan bulan dalam jantung kita.. Bacalah surah Al-Kahfi, di sanalah buktinya.. MUSYAHADAH itu adalah penyaksian qalbu jiwa kita kepada ALLAH.. Iaitu bila mana ALLAH menerima amal kita dan membuka hijab nafsu, akal dan budi, maka akan kita nampak dengan jelas segala rupa sifat ALLAH yang melekat pada diri kita.. Inilah perlambangan bintang dalam hati kita.. Bacalah Al-Ikhlas, di sanalah buktinya.. Al-'Ikhlāş4 - "Dan tidak ada sesiapapun yang serupa denganNya". MAHABBAH itu adalah cinta kita kepada ALLAH.. Yang menghujankan rasa kasih sayang dan rindu antara kita dengan ALLAH sehingga seolah-olah putus kita dari yang lain walau hakikatnya tidaklah begitu, kerana semuanya asal Esa.. Di sini ada yang menyintai dan ada yang dicintai, ertinya masih dua wujud.. Inilah perlambangan Nur dalam jiwa kita.. Bacalah surah An-Nur, di sanalah buktinya.. MUHITH itu adalah penyatuan yang tiada cerai tanggal, tanpa silang dan tanpa silih lagi.. Iaitu khalik dan makhluk hakikatnya adalah satu jua.. Inilah seperti firman Allah di dalam Hads Qudsi "Al-insanu sirri wa-anna sirruhu, di sanalah buktinya.. Maka nyatalah bahawa sirr itu bukanlah akal karna ALLAH sudah menegaskan dalam firman-NYA bahawa AKU-lah rahsia-NYA.. ~ Allahu A'lam -
jawabanmereka: 1)Tasawuf itu tentang akhlak atau etika, 2)Tasawuf itu sufi, yaitu orang-orang yang kalau laki-lakinya dihayati berarti mukasyafah dan musyahadah. Fana (lebur) dalam perasaan tersebut berarti tenggelam dalam musyahadah-musyahadah tersebut tanpa menoleh pada apapun selain kepada Allah. Selanjutnya ath Thusi
MUKÂSYAFAH adalah manifestasi pengetahuan di dalam hati sufi. Semua hati manusia sebenarnya mempunyai potensi yang sama dalam menerima mukâsyafah. Tetapi, mukâsyafah hanya bisa dicapai kalau antara hati manusia dan lawh al-mahfûzh tidak terhalangi oleh apapun. Penghalang hanya mampu disirnakan oleh para nabi dan wali melalui riyâdhah olah diri dan tazkiyah pensucian diri. Perbedaan antara keduanya hanya teletak pada kemampuan dalam menyaksikan kehadiran sang pembawa pengetahuan. Mukâsyafah dalam diri nabi disebut dengan wahyu, sedangkan pada diri wali disebut ilham. Mukâsyafah tidak didapatkan melalui pengkajian atau penalaran. Mukâsyafah adalah buah dari olah diri dan pensucian yang dilakukan para sufi. Itu semua bagaikan kajian keilmuan yang dilakukan para ulama. Dalam hal ini, kajian keilmuan juga mendapatkan pengetahuan dari lawh al-mahfûzh. Perbedaan antara kajian keilmuan dengan mukâsyafah hanya pada mekanisme pencapaian pengetahuan. Para sufi mendapatkan itu melalui olah diri dan amal saleh yang bertumpu pada hati, sedangkan para ulama melalui pengkajian yang bertumpu pada nalar. Para sufi akan terhalangi di saat melakukan kemaksiatan, sedangkan ulama akan terhalangi oleh kelupaan. Bagi al-Ghazali, mukâsyafah adalah kebenaran Ilahiyah. Argumentasinya dapat dimengerti melalui mimpi yang terkadang memberikan informasi berupa kepastian terjadinya peristiwa di masa depan. Hal ini terjadi karena di saat tidur manusia tidak lagi memperhatikan tuntutan-tuntutan jasmaninya. Namun, pengabaian terhadap tuntutan-tuntutan jasmani tidak hanya terjadi pada saat-saat tidur. Dalam kondisi sadarpun manusia mampu menepisnya dengan melakukan puasa, olah diri, dan pensucian hati. Sehingga dalam kondisi sadar, manusia juga mampu mengetahui peristiwa masa depan tersebut. Tidak ada perbedaan antara mukâsyafah melalui mimpi dengan mukâsyafah dalam kondisi sadar. Yang terpenting adalah kemampuan manusia dalam meminimalisir seluruh tuntutan jasmaninya. Selain mendapatkan mukâsyafah, para sufi juga mencapai musyâhadah. Musyâhadah menjadikan para sufi mampu menyaksikan semua fenomena menakjubkan yang tidak bisa disaksikan di alam nyata. Mereka mampu menyaksikan para malaikat, arwah para nabi, serta dapat mengambil manfaat dari persaksian itu. Klimaks dari itu semua adalah fanâ`. Tahapan ini merupakan tahapan paling akhir dari upaya pendekatan para sufi dengan Tuhan. Dalam tahapan fanâ` ini, para sufi akan senantiasa menyaksikan dan merasakan kehadiran Tuhan. Tak ada lain kecuali hanya Tuhan yang tampak oleh mereka. Ini merupakan empati tertinggi para sufi. Fanâ` hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang telah merasakan empati itu. Mempublikasikan empati tersebut kepada masyarakat umum akan melahirkan tuduhan kafir terhadap mereka. Ketidakpahaman terhadap empati itu akan memunculkan klaim panteisme dan inkarnasi. Klaim tersebut muncul akibat ketidakpahaman masyarakat umum mengenai arti fanâ` dalam dunia sufisme. Pengingkaran al-Ghazali terhadap panteisme dan inkarnasi tidak berarti ia mengkafirkan para imam sufi yang mempunyai teori itu. Ia hanya melarang jika teori itu dijalankan oleh masyarakat biasa yang tidak memahami kaidah-kaidah sufisme. Tetapi, itu pun tidak berarti bahwa al-Ghazali merestui teori penteisme dan inkarnasi. Artinya, ia tidak melihat bahwa statemen-statemen para tokoh sufi mengandung arti penyatuan antara Tuhan dengan hamba-Nya. Statemen-statemen mereka tidak bisa dipahami hanya melalui peranti-peranti tekstual. Oleh karena itu, apa yang dikatakan oleh Abu Yasid al-Busthami, “Maha suci aku dan tidak ada entitas yang lebih agung dariku,” tidak boleh diklaim sebagai bentuk kekufuran. Statemen tersebut tidak berarti bahwa dirinya telah menyatu dengan Tuhan. Justru itu merupakan sebuah ungkapan atas kebesaran Tuhan yang sedang disaksikannya. Artinya, Abu Yazid menganggap dirinya telah mencapai tingkatan paling atas dalam dunia sufisme, sehingga posisinya di hadapan Tuhan tidak tertandingi oleh entitas apapun. Demikianlah konsep tasawuf yang dikembangkan al-Ghazali di dalam dinasti Saljuk yang berpaham Sunni. Jelas, konsep ini jauh berbeda dengan konsep tasawuf Syi’ah Batiniyah yang sangat identik dengan panteisme dan inkarnasi. Kerhadiran konsep tasawuf al-Ghazali diharapkan menjadi alternatif untuk menggatikan tasawuf Batiniyah. Namun, akibat bias ideologi Sunni pemikiran al-Ghazali nampak paradoks. Pemikiran-pemikirannya terkesan tidak selaras dan saling berbenturan. Ini bisa dilihat dari konsep tasawuf rumusannya yang bertolak belakang dengan ilmu logika yang dipromosikannya. Himbauan untuk bertasawuf hingga mencapai mukâsyafah akan menghantam himbaunnya untuk mempelajari ilmu logika. Antara ilmu mukâsyafah dengan ilmu logika adalah dua hal yang saling berlawanan. Memang, mukâsyafah dan ilmu logika sama-sama mendapatkan pangetahuan dari lawh mahfûzh. Tetapi keduanya tetap berbeda, perbedaannya adalah pada mekanisme pancapaian pengetahuan. Ilmu logika bersandar pada pijakan-pijakan akal, sedang ilmu mukâsyafah justru menihilkan penalaran. Mukâsyafah tidak hanya akan membentur himbauannya akan urgensi ilmu logika, tetapi juga akan membentur pelarangannya terhadap filsafat. Sebetulnya, bila diamati lebih jauh, paradoksalitas pemikiran al-Ghazali lebih disebabkan karena beratnya beban ideologi aliran Sunni yang menindih pundaknya. Himbauannya untuk mempelajari ilmu logika sebenarnya merupakan upayanya untuk menggantikan konsep pembimbing suci’ aliran Syi’ah Batiniyah. Sementara, rumusan tasawufnya sengaja dicanangkan untuk menjadi pengganti atas bangunan spiritualitas Syi’ah Batiniyah. Begitu pula pengkafirannya terhadap filsafat tidak lain adalah untuk mematikan landasan filsafat Syi’ah Batiniyah tersebut. Dalam pandangan al-Ghazali, filsafat Batiniyah adalah perwujudan dari filsafat Neoplatonisme yang dikembangkan al-Farabi dan Ibnu Sina. Sehingga, pengkafiran terhadap al-Farabi dan Ibnu Sina diharapkan akan dapat meruntuhkan dasar-dasar filsafat Syi’ah Batiniyah.[]
Sebagaimanasabda Rasulullah SAW: “Sesuatu yang sangat aku takuti bagi umatku adalah lemahnya keyakinan, dan lemahnya keyakinan itu adaah orang yang lalai terhadap ajaran agamanya, orang yang bergaul dengan orang jahat, dan orang yang bersifat kasar dan berkepala batu.” 20 Permulaan yaqin adalah mukasyafah dan apabila Allah SWT telah
Antara MUSYAHADAH dan MUKASYAFAH adalah dua maqam keadaan yg tidak dapat dipisahkan atau dalam artian saling berkaitan. Karena bagaimana mungkin seseorang itu dapat ber MUSYAHADAH penyaksian jika tak terjadi MUKASYAFAH tersingkap tabir. Dan bagaimana mungkin dapat terjadi MUKASYAFAH tersingkap tabir jika tidak adanya MUSYAHADAH penyaksian. MUKASYAFAH berasal dari kata kasf/fakasyafna terbuka tirai, yaitu tersingkapnya tirai/penghalang yg telah menghalangi seorang hamba dengan Tuhannya. Tersingkapnya tabir penghalang antara seorang hamba dengan Tuhannya, seperti yg disebutkan dalam Al-Qur’an فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاۤءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيْدٌ “Maka Kami singkapkan tutup yg menutupi matamu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam.” QS. Qaf 22 Menurut istilah Tasawuf disebutkan bahwa kasyf adalah tersingkapnya tabir yg menghalangi hati seorang hamba, karena telah bersinarnya Cahaya Ilahi di dalamnya ketika hati itu telah dibersihkan. Lalu tampaklah di hati pengertian² menyeluruh sebagai hasil dari ma’rifah Allah pengenalan kepada Allah. Kasyf dalam pandangan Imam Al-Ghazali disebut sebagai fana’ fit Tauhid. Dengan demikian, fana dalam pemahaman Imam Al-Ghazali adalah kefanaan qalb, yaitu hilangnya kesadaran qalbu tentang dirinya karena tersingkapnya hakikat-realitas, sehingga yg tinggal dalam kesadaran hanya yg Esa. Imam Al-Ghazali kemudian mengatakan, bahwa hati itu mempunyai dua pintu. Satu pintu terbuka ke arah alam malakut dalam alam ghaib, yaitu Lauhul Mahfudz dan alam kemalaikatan alam ruhani. Adapun pintu yg lain terbuka ke arah panca indra yg berkaitan dengan alam dunia fisik yg merupakan cerminan pantulan apa yg ada di alam kemalaikatan Lauhul Mahfudz. Pintu yg terbuka ke arah alam ghaib dan Lauhul Mahfudz adalah seperti hal keajaiban mimpi yg benar secara yakin, sehingga hati bisa menghayati di tengah tidur akan hal² yg akan terjadi di kemudian hari atau kejadian² ujian pada masa lalu tanpa perantaraan tanggapan inderawi. Dari uraian diatas, bahwa Imam Al-Ghazali mencoba menjelaskan hubungan antara ilmu mukasyafah yg biasa juga disebut dengan Ilmu Laduni dengan ilmu ta’limiyah, yaitu laksana hubungan naskah asli dengan duplikatnya. Imam Al-Ghazali mengklasifikasikan pengetahuan pada tiga tingkatan sesuai dengan dasar pengetahuan dan metode yg digunakan. Pengetahuan awam diperoleh melalui jalan meniru atau taqlid. Sedangkan pengetahuan para mutakallimin diperoleh melalui pembuktian rasional. Kualitas peringkat pertama dan kedua ini hampir sama, sedangkan peringkat ketiga adalah yg tertinggi kualitasnya, yaitu pengetahuan para sufi yg diperoleh melalui metode penyaksian langsung dengan radar pendeteksi qalb yg bening. Dalam perkembangan ilmu Tasawuf, para sufi membagi kasyf pada dua tingkatan, yakni kasyf aqli dan kasyf bashari. Kasyf Aqli Kasyf aqli adalah penyingkapan melalui akal. Ini merupakan tingkatan pengetahuan intuitif paling rendah. Allah tidak bisa diketahui dan dicintai melalui akal, karena akal membelenggu dan menghalangi manusia dalam tahap tahap akhir taraqqi-nya pendakiannya. Kasyf Bashari Adapun Kasyf Bashari adalah penyingkapan visual yg terjadi melalui penciptaan yg langsung dilakukan dalam suatu peristiwa, tempat, tindakan, atau ucapan bagi seorang sufi bisa menjadi tempat bagi peningkatan visual ini. Allah adalah Yang Maha Mutlak. Dia adalah Keindahan dan makhluk-Nya, Allah bisa mengungkapkan Diri-Nya pada hamba-Nya lewat salah satu Nama Keindahan-Nya yg akan menimbulkan kemanisan dan kesenangan atau lewat salah satu Nama Keagungan-Nya yg akan melahirkan ketakziman dan ketakutan. Begitulah kasyf, kondisi dimana hati seseorang bersih-bening, sehingga dengannya bisa melihat dan menyaksikan apa yg selama ini terhijab oleh dosa dan materi keduniaan. Musyahadah MUSYAHADAH adalah penyaksian atas ketersingkapan hijab yg nyata, yg tidak lagi butuh bukti dan penjelasan, serta tak ada lagi imajinasi maupun keraguan sedikitpun. Dikatakan, “Syuhud itu dari penyaksian yg disaksikan dan tersingkapnya Wujud.” Di dalam Al-Qur’anul Karim disebutkan tentang MUSYAHADAH/penyaksian seperti Ayat di bawah ini وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui.” QS. Al-Baqarah 115 Juga Allah berfirman إِنِّى وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yg menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yg benar, dan aku bukanlah termasuk orang² yg mempersekutukan Tuhan.” QS. Al-An’am 79 Syaikh Ibnu Atha’illah menggambarkan secara bijak dalam definisi musyahadah yaitu “Alam semesta ini gelap, dan sebenarnya menjadi terang karena dicahayai Allah di dalamnya. Karena itu siapa yg melihat semesta, namun tidak menyaksikan Allah di dalamnya, atau di sisinya, atau sebelum dan sesudahnya, benar² ia telah dikaburkan dari wujud Cahaya, dan tertutup dari matahari ma’rifat oleh mendung² duniawi semesta.” Musyahadah yaitu dapat diartikan dengan Menyaksikan dalam mukasyafah, yaitu tiada yg menghalangi diri hamba dengan Allah. Namun yg menghalangi adalah prasangka hamba itu sendiri karena dia berprasangka adanya sesuatu selain Allah. Allah sesungguhnya tidak bisa dihijabi oleh apa pun. Karena jika ada hijab yg bisa menutupi Allah, berarti hijab itu lebih besar dan lebih hebat dibanding Allah. Dalam hal ini Syaikh Ibnu Atha’illah menyatakan Bagaimana Allah dapat di hijab oleh sesuatu, sedangkan Allah itu lebih nyata dari segala sesuatu. Bagaimana Allah itu dapat di hijab oleh sesuatu, sedangkan Allah yg menjadikan segala sesuatu. Dan bagaimana Allah dapat di hijab oleh sesuatu, sedangkan jika tidak ada Allah, maka tidak ada sesuatu. Hal ini menunjukkan bahwa sebuah kedekatan atau taqarrub sampai² seakan-akan melihat-Nya, adalah akibat dari kesadaran kuat bahwa “Dialah yg melihat kita.” Kesadaran jiwa bahwa Allah melihat kita terus menerus, menimbulkan pantulan pada diri kita, yg membukakan mata hati kita dan sirr kita untuk memandang-Nya. Kesadaran MUSYAHADAH menyaksikan dan Memandang Allah, akan mengekspresikan sebuah pengalaman demi pengalaman yg berbeda-beda antar para Sufi, sesuai dengan tingkat maqam ruhaniyah kondisi ruhani masing². Ada yg menyadari dalam pandangan tingkat Asma’ Allah, ada pula yg sampai ke Sifat Allah, bahkan ada yg sampai ke Dzat Allah. Lalu kemudian turun kembali melihat Sifat²Nya, kemudian Asma’²Nya, lalu melihat alam semesta dan makhluk-Nya. Untuk menyikapi dalam hal MUSYAHADAH dan MUKASYAFAH ini sepertinya kita perlu mengoreksi diri kita sendiri lewat perkataan Syaikh Abu Yazid al-Busthami, yaitu“Apa pun yg engkau bayangkan tentang Allah, Dia bertempat, berwarna, berpenjuru, bergerak, diam, itu semua pasti bukan Allah. Karena sifat² tersebut adalah sifat makhluk.” Kontemplasi pengosongan diri tanpa bimbingan ruhani seorang Guru Mursyid yg Kamil Mukammil hanya akan menggapai jalan yg buntu saja meskipun dalam praktek Muraqabah, Musyahadah maupun Ma’rifah. Jadi agar tidak menjadi kesia-siaan maka sebaiknya untuk mencapai MUSYAHADAH maka haruslah dalam bimbingan seorang Guru Mursyid yg Kamil lagi Mukammil. Bagi mereka yg dicahayai oleh Allah maka, “Telah terpancar cahayanya dan jelaslah kegembiraanya, lalu ia pejamkan matanya dari dunia dan berpaling darinya, sama sekali dunia bukan tempat tinggal dan bukan tempat ketentraman. Namun ia jiwanya bangkit di dalam dunia itu, semata menuju Allah Ta’ala, berjalan di dalamnya sembari memohon pertolongan dari Allah untuk datang kepada Allah.” Hamparan tekadnya tak pernah terhenti, dan selamanya berjalan, sampai lunglai di hadapan Hadratul Quds dan hamparan kemesraan dengan-Nya, sebagai tempat Mufatahah, Muwajjahah, Mujalasah, Muhadatsah, Musyahadah, dan Muthala’ah.” Syaikh Ibnu Atha’illah menyebutkan enam hal dalam soal hubungan hamba dengan Allah di hadapan Allah, yg harus dimaknai dengan rasa terdalam, untuk memahami dan membedakan satu dengan yg lain. MUFATAHAH, permulaan hamba menghadap-Nya di hamparan remuk redam dirinya dan munajat, lalu Allah membukakan tirai hakikat Asma’, Sifat dan keagungan Dzat-Nya, agar hamba luruh disana dan lupa dari segala yg ada bersama-Nya. MUWAJJAHAH, saling berhadapan, adalah sikap menghadapnya hamba pada Tuhannya tanpa sedikit pun dan sejenak pun berpaling dari-Nya, tanpa alpa dari mengingat-Nya. Allah menemui dengan Cahaya-Nya dan hamba menghadap-Nya dengan Sirr-nya, hingga sama sekali tidak ada peluang untukmelihat selain-Nya, dan tidak menyaksikan kecuali hanya Dia. MUJALASAH, menetap dalam majelis-Nya dengan tetap teguh terus berdzikir tanpa alpa, patuh tunduk tanpa lalai, beradab penuh tanpa tergoda, dan hamba memuliakan-Nya seperti penghormatan cinta dan kemesraan agung, lalu disanalah Allah Ta’ala berfirman dalam hadits Qudsi, “Aku berada dalam majelis yg berdzikir pada-Ku.” MUHADATSAH, dialog, yaitu menempatkan sirr rahasia bathin dengan mengingat-Nya dan menghadap-Nya dengan hal² yg ditampakkan Allah pada sirr itu, hingga cahaya-Nya meluas dan rahasia²Nya bertumpuan. Inilah yg disabdakan Rasulullah Saw., “Pada umat² terdahulu ada kalangan yg disebut sebagai kalangan yg berdialog dengan Allah, dan pada umatku pun ada, maka Umar di antaranya.” MUSYAHADAH, ketersingkapan yg nyata, yg tidak lagi butuh bukti dan penjelasan, tak ada imajinasi maupun keraguan. Dikatakan, “Syuhud itu dari penyaksian yg disaksikan dan tersingkapnya Wujud.” MUTHALA’AH, keselarasan dengan Tauhid dalam setiap kepatuhan, keta’atan dan bathin, semuanya kembali pada hakikat tanpa adanya kontemplasi atau analisa, dan setiap yg tampak senantiasa muncul rahasia-Nya karena keparipurnaan-Nya. Demikianlah keterangan tentang keadaan maqam MUSYAHADAH DAN MUKASYAFAH, semoga dapat menjadi perbendaharaan ilmu dan pemahaman bagi kita semua. Wallaahu a’lam
Orangtidak akan mungkin jatuh cinta (Mahabbah), jika dia tidak pernah melihat (Musyahadah) sebelumnya, orang itu pun apa bisa melihat jika penglihatanya sendiri tidak pernah di buka (Mukasyafah), dan orangpun apa mungkin bisa benar-benar mengenal (Marifat) jika dia tidak pernah mengerti (inti, unsur-unsur, sir -sir) dari hakekat , ada kalanya
Ulama sufi berkata, "Mukasyafah artinya jalinan secara rahasia antara dua batin." Maksudnya, mukasyafah adalah salah satu dari dua orang yang saling mencintai, yang mengetahui batin urusan dan rahasia yang satunya lagi. Jalinan ini terjadi secara lembut dan penuh kasih sayang. Jika seorang hamba sampai ke kedudukan ma'rifat, maka seakan-akan dia dapat melihat sifat-sifat kesempurnaan Allah dan keagungan-Nya, sehingga ruhnya merasakan kedekatan yang khusus, berbeda dengan kedekatan yang bersifat inderawi, sehingga seakan-akan dia bisa menyaksikan disingkapkannya hijab antara ruh dan hatinya dengan Rabb-nya. Yang dimaksud kasyf menurut Al Ghazali adalah metode pengetahuan melalui sarana kalbu yang bening, atau pemahaman intuitif langsung. kasyf iluminasi adalah apa yang tadinya tertutup bagi manusia, atau tersingkap bagi seseorang seakan ia melihat dengan matanya. Dengan demikian pengetahuan itu diperoleh dari sumbernya secara langsung, bukan melalui fikiran atau belajar. Mukasyafah adalah tersingkapnya tabir yang menjadi kesenjangan antara sufi dengan Allah. Kesenjangan tersebut adalah jarak antara mahluk dengan khaliknya. Sementara itu Kasyf menurut Qaysari adalah penyingkapan hijab. Secara terminologis, kasyf adalah mengetahui makna yang tersembunyi dan realitas dibalik hijab secara wujud. Penyingkapan-penyingkapan itu sebenarnya merupakan Tajali Nama yang mengurusinya. Dan semuanya berada di bawah Nama Al-Alim. Adapun yang berkaitan dengan duniawi, seperti dalam praktek memberitakan kejadian-kejadian duniawi yang akan terjadi, termasuk dalam kasf Al Suri, kasyf ini disebut kasy Ruhbaniyyah, karena mereka mengetahui hal-hal gaib melalui riyadah dan mujahidah mereka. Tetapi para ahli suluk beranggapan bahwa hal itu sebagai al istidraj, yaitu kemunduran derajat, bahkan mereka tidak menanggapinya, karena tujuan mereka adalah fana' fi l-Lah dan Baqa bil-Lah. Menurut Al Qaysari, sumber mukasyafah adalah al qalb al insani dan intelek amalinya yang bercahaya yang menggunakan indera ruhaniyah. Karena qalbu manusia memiliki penglihatan, pendengaran dan sebagainya. Sebagaimana diisyaratkan Allah dalam firmannya "Maka sesungguhnya tidak buta matanya, tetapi yang buta adalah hatinya yang ada di dalam dada". Dan "Allah telah menutup keatas hati mereka dan pendengarannya dan penglihatan mereka dengan tirai." Dan indra ruhaniyyah ini adalah bathin indera jasmani. Ketika tersingkap hijab dimensi ruhani dan dimensi kongkrit maka akan menyatu indera ruhaniyah dan indera jasmaniyahnya. Dan dia akan mempersepsikan dengan indera ruhanniyahnya. Ruh akan menyaksikan semuanya secara esensial, karena hakikat yang ada akan menyatu dengan ruh dalam martabatnya dengan keberadaan yang lengkap dan seluruh hakikat terpadu di dalamnya. Hijab tersebut adalah nafsunya, yang disingkap Allah dengan kekuatan-Nya. Dengan begitu dia akan menyembah-Nya seakan-akan dapat melihat-Nya. Ada tiga derajat mukasyafah, yaitu Mukasyafah yang menunjukkan penerapan yang benar, yang harus berjalan secara terus-menerus. Hal ini terjadi pada sekali waktu tanpa waktu yang lain, tanpa diselingi suatu pemisahan. Hijab yang tipis bisa terbentang pada kedudukannya, hanya saja hijab itu tidak membuatnya memalingkannya dan meniadakan bagiannya. Ini merupakan derajat orang yang menuju suatu tujuan. Jika berlangsung terus, maka menjadi derajat kedua. Mukasyafah yang benar merupakan ilmu yang disusupkan Allah ke dalam hati hamba dan menampakkan kepadanya perkara-perkara yang tidak diketahui orang lain. Namun Allah juga bisa memalingkan dan menahannya karena kelalaian dan membuat tutupan di dalam hatinya. Tapi tutupan ini amat tipis, yang disebut al-ghain. Yang lebih tebal lagi disebut al-ghaim, dan yang paling tebal adalah ar-ran. Yang pertama berlaku bagi para nabi, seperti yang disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sesungguhnya ada tutupan dalam hatiku, dan sesungguhnya aku memohon ampun kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari." Yang kedua berlaku bagi orang-orang Mukmin, dan yang ketiga bagi orang-orang yang menderita, seperti firman Allah, "Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka." Al-Muthaffifin 14. Hijab ada sepuluh macam 1. Hijab peniadaan dan penafian hakikat asma' serta sifat. Ini merupakan hijab yang paling tebal. Orang yang memiliki hijab ini tidak mempunyai kesiapan untuk mengetahui Allah dan sama sekali tidak sampai kepada Allah, sebagaimana batu yang tidak bisa naik ke atas. 2. Hijab syirik, yaitu membuat hati menyembah kepada selain Allah. 3. Hijab bid'ah yang bersifat perkataan, seperti hijab orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan berbagai macam perkataan yang batil lagi rusak. 4. Hijab bid'ah yang bersifap ilmiah, seperti hijab para ahli thariqah yang melakukan bid'ah dalam perjalanannya kepada Allah. 5. Hijab orang-orang yang melakukan dosa besar secara batinnya, seperti hijab orang-orang yang takabur, ujub, riya', dengki, membanggakan diri dan lain sebagainya. 6. Hijab orang-orang yang melakukan dosa besar secara zhahir. Hijab mereka lebih tipis daripada hijab orang-orang yang melakukan dosa besar secara batin, sekalipun mereka lebih banyak ibadahnya dan lebih zuhud. Dosa besar secara zhahir lebih dekat kepada taubat daripada dosa besar secara batin. Orang yang melakukan dosa besar secara zhahir lebih bisa diselamatkan dan hatinya lebih baik daripada orang yang melakukan dosa besar secara batin. 7. Hijab orang-orang yang melakukan dosa-dosa kecil. 8. Hijab orang-orang yang berlebih-lebihan dalam hal-hal yang mubah. 9. Hijab orang-orang yang lalai melakukan tujuan penciptaannya dan yang dikehendaki dari dirinya, tidak senantiasa berdzikir, bersyukur dan beribadah kepada Allah. 10. Hijab orang-orang yang berijtihad namun menyimpang dari tujuan. Inilah sepuluh macam hijab yang mendinding antara hati dengan Allah, menjadi penghalang di antara keduanya. Hijab-hijab ini muncul dari empat unsur Jiwa, syetan, dunia dan nafsu. Hijab tidak bisa disingkirkan jika unsur-unsur penyebabnya masih ada. Empat unsur inilah yang merusak perkataan, perbuatan, tujuan dan jalan, tergantung dari banyak dan sedikitnya, memotong jalan perkataan, perbuatan dan tujuan untuk sampai ke hati. Sementara apa yang dipotong agar tidak sampai ke hati, juga dipotong agar tidak sampai kepada Allah. Antara perkataan dan perbuatan dengan hati terbentang jarak perjalanan. Seorang hamba menempuh jarak perjalanan itu agar sampai ke hatinya, agar dia bisa melihat berbagai macam keajaiban di sana. Dalam perjalanan ini terdapat banyak perampok jalanan seperti yang sudah disebutkan di atas. Jika dia bisa memerangi para perampok jalanan itu dan amalnya bisa sampai ke hati, maka ia akan menetap di dalam hati, lalu dari hati ini dia akan mendapatkan jendela agar dapat melihat Allah. Sekalipun perjalanan itu sudah sampai ke hati, namun hamba tidak mendapatkan jendela untuk melihat Allah, bahkan di dalamnya bersemayam nafsu dan pasukannya, sekalipun dia orang yang zuhud dan paling banyak beribadah, maka dia adalah orang yang paling jauh dari Allah. Bahkan orang-orang yang melakukan dosa besar, hatinya bisa lebih dekat dengan Allah daripada mereka. Lihatlah seorang ahli ibadah dan zuhud,yang di keningnya terdapat bekas sujud, tapi justru mengingkari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam karena amalnya yang kelewat batas, sehingga dia pun mencemooh orang Muslim lainnya dan menumpahkan darah para shahabat. Di sisi lain lihat seorang peminum berat,Orang pertama adalah Dzul-Khuwaishirah At-Tamimy Al-Khariji, dan orang kedua adalah Iyadh bin Himar. yang sering mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan dia pun siap dijatuhi hukuman karena kebiasaannya itu. Karena iman, keyakinan dan kecintaannya kepada Allah serta Rasul-Nya, dia rela menerimanya, sampaisampai beliau melarang orang lain yang memakinya. Dari sini dapat diketahui bahwa orang yang melakukan kedurhakaan lebih baik kesudahannya daripada orang yang melanggar ketaatan. Perkataan Syech al-Mursyid, "Mukasyafah yang menunjukkan penerapan yang benar", setiap orang mengaku memiliki kesesuaian yang benar. Tidak ada penerapan yang benar kecuali yang sesuai dengan perintah. Penerapan dalam ilmu ialah pengungkapan yang sesuai dengan apa yang dikabarkan para rasul. Penerapan yang benar dalam kehendak ialah yang sesuai dengan kehendak Allah. Mukasyafah yang sebenarnya ialah mengetahui kebenaran yang disampaikan Allah kepada para rasul-Nya dan yang diturunkan ke dalam kitab-kitab-Nya, yang dilihat dengan hatinya. Ini pula yang disebut penerapan yang benar. Sedangkan kebalikannya adalah suatu keburukan. Ini merupakan derajat pertama, yaitu derajatnya orang yang menuju ke suatu tujuan. Jika berjalan terus dan teguh hati, maka akan mencapai derajat kedua. Syaikh berkata, "Sedangkan derajat ketiga adalah mukasyafah mata dan bukan mukasyafah ilmu, yaitu mukasyafah yang tidak membiarkan adanya pertanda yang menimbulkan kelezatan, atau yang menghentikan perjalanan atau yang singgah di satu penghalang. Tujuan dari mukasyafah ini adalah kesaksian." Derajat ini disebut pengungkapan mata, karena banyaknya cahaya pengungkapan apa yang ada di dalam hati, lalu menggantikan kedudukan ilmu yang tidak mungkin diingkari dan didustakan. Sebagaimana melihat dengan pandangan mata yang tidak bisa dilakukan kecuali adanya kekuatan penglihatan, tidak ada pembatas, tidak gelap dan tidak jauh jaraknya, maka pengungkapan dengan mata hati mengharuskan adanya hati yang sehat dan tidak adanya perintang untuk mengungkap segala rahasianya. Dalam Kitab Manaqib Nurul Burhan, terdapat 70 wali Allah yang sudah mukasyafah tapi berhasil disesatkan oleh Iblis seperti pengakuan Iblis kpada Sultan al-awliya Syaikh Abdul Wadir al-jailani. Kedua, mukasyafah adalah bagian dari sebuah proses, bukan tujuan puncak dalam suluk ruhani. Selama mengalami proses mukasyafah, sufi terutama yg masih di tengah jalan masih harus menghadapi banyak cobaan dan godaan. Apa yang datang dari mukasyafah boleh jadi adalah, meminjam bahasa Qur'an, makr tipu daya Allah. ia bisa jadi kasyaf syathani, atau khatir syathani. Betul bahwa hati yg suci bisa mendapatkan mukasyafah, tetapi hati yang suci bukan terminal akhir, dan karenanya mukasyafah juga bukan puncak ilmu. Dalam makna wirid- wirid besar tarekat mu'tabarah tersirat bahwa bahkan mukasyafah pun masih bisa disusupi iblis, dan karenanya selalu dibaca istiadzah sebagian menggunakan wirid shalat istadzah setiap pagi. Kasyaf rabbani memang boleh jadi menjadi isyarat kesucian,tetapi tidak selalu ia bersifat paripurna. Ketiga, seorang yang telah mendapatkan mukasyafah boleh jadi belum mencapai kondisi fana, fana-al-fana, dan baqa. Karenanya, mukasyafah boleh jadi merupakan "hal" atau keadaan spiritual, yang tidak permanen yang berbeda dengan "maqam" yang relatif permanen. demikian sedikit tambahan.
Kumpulanmakalah kuliah jurusan Hukum Ekonomi Syariah , semoga bermanfaat dan dapat membantu menambah pengetahuan dari
Oleh H. Mas’oed Abidin يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa orang memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok akhirat, dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” Al Hasyr 18 Adalah menjadi kewajiban setiap orang merancang dan mempersiapkan hari esok yang lebih baik. Nabi Muhammad SAW mengingatkan bahwa seorang akan merugi kalau hari esoknya sama saja dengan hari ini, bahkan dia menjadi terkutuk jika hari ini lebih buruk dari kemarin. Seseorang baru dikatan bahagia, jika hari esok itu lebih baik dari hari ini. Membangun hari esok yang baik, sesuai dengan ayat wahyu Allah SWT di atas dimulai dengan perintah bertaqwa kepada Allah dan di akhiri dengan perintah yang sama. Ini mengisyaratkan bahwa landasan berfikir, serta tempat bertolak untuk mempersiapkan hari esok haruslah dengan taqwa. Semestinya orang Mukmin punya langkah antisipatif terhadap kemungkinan yang dapat terjadi esok disebabkan kelalaian hari ini. Seorang mukmin sudah dapat memprediksi dan mempersiapkan hari esok yang lebih baik, dinamis, lebih mapan, lebih produktif dari pada hari ini. Simpulannya, mesti ada peningkatan prestasi dari hari ke hari. Hari esok dapat berarti masa depan dalam kehidupan pendek di dunia ini. Hari esok juga berarti pula hari esok yang hakiki, yang kekal abadi di akhirat kelak. Hari esok mesti dirancang harus lebih baik dari hari ini, dengan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, dengan melaksanakan lima “M ” ; yaitu Mu’ahadah, Mujahadah, Muraqabah, Muhasabah, dan Mu’aqabah.[1] 1. Mu’ahadah Mu’ahadah adalah mengingat perjanjian dengan Allah SWT. Sebelum manusia lahir ke dunia, masih berada pada alam gaib, yaitu di alam arwah, Allah telah membuat “kontrak” tauhid dengan ruh. Kontrak tauhid ini terjadi ketika manusia masih dalam keadaan ruh belum berupa materi badan jasmani. Karena itu, logis sekali jika manusia tidak pernah merasa membuat kontrak tauhid tersebut. Mu’ahadah konkritnya diikrarkan oleh manusia mukmin kepada Allah setelah kelahirannya ke dunia, berupa ikrar janji kepada Allah. Wujudnya terefleksi minimal 17 kali dalam sehari dan semalam, bagi yang menunaikan shalat wajib, sebagaimana tertera di dalam surat Al Fatihah ayat 5 yang berbunyi “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. Artinya, engkau semata wahai Allah yang kami sembah, dan engkau semata pula tempat kami menyandarkan permohonan dan permintaan pertolongan. Ikrar janji ini mengandung ketinggian dan kemantapan aqidah. Mengakui tidak ada lain yang berhak disembah dan dimintai pertolongan, kecuali hanya Allah semata. Tidak ada satupun bentuk ibadah dan isti’anah Permintaan Pertolongan yang boleh dialamatkan kepada selain Allah SWT.[2] Mu’ahadah yang lain adalah ikrar manusia ketika mengucapkan kalimat “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya kuperuntukkan ku-abdikan bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam.” 2. Mujahadah Mujahadah berarti bersungguh hati melaksanakan ibadah dan teguh berkarya amal shaleh, sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah SWT yang sekaligus menjadi amanat serta tujuan diciptakannya manusia. Dengan beribadah, manusia menjadikan dirinya abdun hamba yang dituntut berbakti dan mengabdi kepada Ma’bud Allah Maha Menjadikan sebagai konsekuensi manusia sebagai hamba wajib berbakti beribadah. Mujahadah adalah sarana menunjukkan ketaatan seorang hamba kepada Allah, sebagai wujud keimanan dan ketaqwaan kepada-Nya. Di antara perintah Allah SWT kepada manusia adalah untuk selalu berdedikasi dan berkarya secara optimal. Hal ini dijelaskan di dalam Al Qur’an Surat At Taubah ayat 5, “Dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Maha Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu apa-apa yang telah kamu kerjakan.” Orang-orang yang selalu bermujahadah merealisasikan keimanannya dengan beribadah dan beramal shaleh dijanjikan akan mendapatkan petunjuk jalan kebenaran untuk menuju ridha Allah SWT hidayah dan rusyda yang dijanjikan Allah diberikan kepada yang terus bermujahadah dengan istiqamah. Kecerdasan dan kearifan akan memandu dengan selalu ingat kepada Allah SWT, tidak terpukau oleh bujuk rayu hawa nafsu dan syetan yang terus menggoda. Situasi batin dari orang-orang yang terus musyahadah menyaksikan keagungan Ilahi amat tenang. Sehingga tak ada kewajiban yang diperintah dilalaikan dan tidak ada larangan Allah yang dilanggar. Jiwa yang memiliki rusyda terus hadir dengan khusyu’. Inilah sebenarnya yang disebut mujahidin ala nafsini wa jawarihihi, yaitu orang yang selalu bersungguh dengan nuraninya dan gerakannya. Syeikh Abu Ali Ad Daqqaq mengatakan “Barangsiapa menghias lahiriahnya dengan mujahadah, Allah akan memperindah rahasia batinnya melalui musyahadah.” Imam Al Qusyairi an Naisaburi [3] mengomentari tentang mujahadah sebagai berikut Jiwa mempunyai dua sifat yang menghalanginya dalam mencari kebaikan; Pertama larut dalam mengikuti hawa nafsu, Kedua ingkar terhadap ketaatan. Manakala jiwa ditunggangi nafsu, wajib dikendalikan dengan kendali taqwa. Manakala jiwa bersikeras ingkar kepada kehendak Tuhan, wajib dilunakkan dengan menolak keinginan hawa nafsunya. Manakala jiwa bangkit memberontak, wajib ditaklukkan dengan musyahadah dan istigfar. Sesungguhnya bertahan dalam lapar puasa dan bangun malam di perempat malam tahajjud, adalah sesuatu yang mudah. Sedangkan membina akhlak dan membersihkan jiwa dari sesuatu yang mengotorinya sangatlah sulit. » Mujahadah adalah suatu keniscayaan yang mesti diperbuat oleh siapa saja yang ingin kebersihan jiwa serta kematangan iman dan taqwa. وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيد ِ * إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ * مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ “Dan sesunggunya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, yaitu ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada satu ucapanpun yang diucapkannya melainkan adal di dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir”. Qaaf 16-18. 3. Muraqabah Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya. Kehati-hatian mawas diri adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya. Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah merasa diawasi oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari.” » Syeikh Abu Utsman Al Maghriby mengatakan, “Abu Hafs mengatakan kepadaku, manakala engkau duduk mengajar orang banyak jadilah seorang penasehat kepada hati dan jiwamu sendiri dan jangan biarkan dirimu tertipu oleh ramainya orang berkumpul di sekelilingmu, sebab mungkin mereka hanya melihat wujud lahiriahmu, sedangkan Allah SWT memperhatikan wujud batinmu.” » Dalam setiap keadaan seorang hamba tidak akan pernah terlepas dari ujian yang harus disikapinya dengan kesabaran, serta nikmat yang harus disyukuri. Muraqabah adalah tidak berlepas diri dari kewajiban yang difardhukan Allah SWT yang mesti dilaksanakan, dan larangan yang wajib dihindari. Muraqabah dapat membentuk mental dan kepribadian seseorang sehingga ia menjadi manusia yang jujur. Berlaku jujurlah engkau dalam perkara sekecil apapun dan di manapun engkau berada. Kejujuran dan keikhlasan adalah dua hal yang harus engkau realisasikan dalam hidupmu. Ia akan bermanfaat bagi dirimu sendiri. Ikatlah ucapanmu, baik yang lahir maupun yang batin, karena malaikat senantiasa mengontrolmu. Allah SWT Maha Mengetahui segala hal di dalam batin. Seharusnya engkau malu kepada Allah SWT dalam setiap kesempatan dan seyogyanya hukum Allah SWT menjadi pegangan dlam keseharianmu. Jangan engkau turuti hawa nafsu dan bisikan syetan, jangan sekali-kali engkau berbuat riya’ dan nifaq. Tindakan itu adalah batil. Kalau engkau berbuat demikian maka engkau akan disiksa. Engkau berdusta, padalah Allah SWT mengetahui apa yang engkau rahasiakan. Bagi Allah tidak ada perbedaan antara yang tersembunyi dan yang terang-terangan, semuanya sama. Bertaubatlah engkau kepada-Nya dan dekatkanlah diri kepada-Nya Bertaqarrub dengan melaksanakan seluruh perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya.” » [4] وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إلاَّ مَا سَعَى وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ اْلأَوْفَى وَأَنَّ إِلَى رَبِّكَ الْمُنْتَهَى وَأَنَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَى وَأَنَّهُ هُوَ أَمَاتَ وَأَحْيَا “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan kepadanya. Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan segala sesuatu, dan bahwasanya DIA yang menjadikan orang tertawa dan menangis, dan bahwasanya DIA yang mematikan dan yang menghidupkan.” QS. An-Najm 39-44 4. Muhasabah Muhasabah berarti introspeksi diri, menghitung diri dengan amal yang telah dilakukan. Manusia yang beruntung adalah manusia yang tahu diri, dan selalu mempersiapkan diri untuk kehidupan kelak yang abadi di yaumul akhir. Dengan melakasanakan Muhasabah, seorang hamba akan selalu menggunakan waktu dan jatah hidupnya dengan sebaik-baiknya, dengan penuh perhitungan baik amal ibadah mahdhah maupun amal sholeh berkaitan kehidupan bermasyarakat. Allah SWT memerintahkan hamba untuk selalu mengintrospeksi dirinya dengan meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah SWT. Diriwayatkan bahwa pada suatu ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib melaksanakan shalat shubuh. Selesai salam, ia menoleh ke sebelah kanannya dengan sedih hati. Dia merenung di tempat duduknya hingga terbit matahari, dan berkata ; “Demi Allah, aku telah melihat para sahabat Nabi Muhammad SAW. Dan sekarang aku tidak melihat sesuatu yang menyerupai mereka sama sekali. Mereka dahulu berdebu dan pucat pasi, mereka melewatkan malam hari dengan sujud dan berdiri karena Allah, mereka membaca kitab Allah dengan bergantian mengganti-ganti tempat pijakan kaki dan jidat mereka apabila menyebut Allah, mereka bergetar seperti pohon bergetar diterpa angin, mata mereka mengucurkan air mata membasahi pakaian mereka dan orang-orang sekarang seakan-akan lalai bila dibandingkan dengan mereka.” » Muhasabah dapat dilaksanakan dengan cara meningkatkan ubudiyah serta mempergunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Berbicara tentang waktu, seorang ulama yang bernama Malik bin Nabi berkata ; “Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali ia berseru, “Wahai anak cucu Adam, aku ciptaan baru yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat.” » [5] Waktu terus berlalu, ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya. Allah SWT bersumpah dengan berbagai kata yang menunjuk pada waktu seperti Wa Al Lail demi malam, Wa An Nahr demi siang, dan lain-lain. Waktu adalah modal utama manusia. Apabila tidak dipergunakan dengan baik, waktu akan terus berlalu. Banyak sekali hadits Nabi SAW yang memperingatkan manusia agar mempergunakan waktu dan mengaturnya sebaik mungkin. نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا َكثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، الصِّحَّةُ وَ الفَرَاغُ “Dua nikmat yang sering disia-siakan banyak orang Kesehatan dan kesempatan waktu luang.” Bukhari melalui Ibnu Abbas 5. Mu’aqabah Muaqabah artinya pemberian sanksi terhadap diri sendiri. Apabila melakukan kesalahan atau sesuatu yang bersifat dosa maka ia segera menghapus dengan amal yang lebih utama meskipun terasa berat, seperti berinfaq dan sebagainya. Kesalahan maupun dosa adalah kesesatan. Oleh karena itu agar manusia tidak tersesat hendaklah manusia bertaubat kepada Allah, mengerjakan kebajikan sesuai dengan norma yang ditentukan untuk menuju ridha dan ampunan Allah. Berkubang dan hanyut dalam kesalahan adalah perbuatan yang melampaui batas dan wajib ditinggalkan. Di dalam ajaran Islam, orang baik adalah orang yang manakala berbuat salah, bersegera mengakui dirinya salah, kemudian bertaubat, dalam arti kembali ke jalan Allah dan berniat dan berupaya kuat untuk tidak akan pernah mengulanginya untuk kedua kalinya. Shadaqallahul’azhim. Allahu A’lamu Bissawab. Catatan kaki ; [1] Syeikh Abdullah Nasih Ulwan dalam bukunya Ruhniyatut Da’iyah’ [2] Demikian komentar Imam as Syaukani dalam kitab tafsirnya Fathul Qadir’ dan Syeikh Ali As Shabuni dalam kitab tafsirnya Shafwatut Tafaasir’. [3] Kitab tasawuf, “Risalatul Qusyairiyah”. [4] Syeikh Abdul Kadir Jailany memberikan nasehat kepada kita sebagaimana yang terdapat dalam kitabnya Al Fathu Arrabbaani wa Al Faidh Ar Rahmaani. [5] Malik bin Nabi dalam bukunya Syuruth An Nahdhah
2 mengenai Mukasyafah adalah terbukanya tabir rahasia antara sesama makhluk, yaitu orang yg beriman dan shalih, ada yg Allah swt beri kemuliaan mengetahui kejadian yg akan terjadi, atau isi hati seseorang, atau nasib seseorang, namun tidak secara keseluruhannya, dan hal ini teriwayatkan pada banyak riwayat shahih.
Selainmendapatkan mukâsyafah, para sufi juga mencapai musyâhadah. Musyâhadah menjadikan para sufi mampu menyaksikan semua fenomena menakjubkan yang tidak bisa disaksikan di alam nyata. Mereka mampu menyaksikan para malaikat, arwah para nabi, serta dapat mengambil manfaat dari persaksian itu. Klimaks dari itu semua adalah fanâ`.
Olehkarena itu, pada umumnya suatu perubahan akan bersifat tetap, abadi, dan tidak mudah sirna apabila dilalui dan dicapai dengan susah payah dan kerja keras. Pada maqâm fana, manusia di hadapan Tuhan tidak menyaksikan diri sendirinya, penghambaannya, keinginan-keinginannya, harapan-harapannya, dan dunia sekelilingnya.
Melaluiaktivitas seperti ini dengan kekuatan intuitif yang ada pada dirinya yang disebut dengan cahaya tuhan (al-bariq al ilahi) seseorang mengetahui realitas eksistensi dirinya dan mengenal kebenaran intuitifmya melalui ilham dan visi (musyahadah wa mukasyafah) oleh karena itu hal ini terdiri dari 1. aktivitas tertentu 2. kemampuan menyadari
Ahwala dalah jamak hal yang berarti keadaan atau kondisi jiwa. Secara terminilogi ahwal adalah keadaan spiritual yang menguasai hati.Hal iu masuk kedalam hai seseorang sebagai anugrah yang di berikan oleh Allah.Hal datang dan pergi dari diri seseorang tan usaha atau perjalanan tertentu. Karena ia datang dan pergi secara tiba-tiba dan idak disengaja. . Maka
Alatuntuk mengolah ruh ini adalah syari’at, hasilnya adalah wilayah (pertolongan Alloh), mukasyafah (terbukanya hijab antara manusia dengan Alloh), dan musyahadah (merasa berhadap-hadapan dengan Alloh) begitupula karomatul kauniyah pada martabat kewalian seperti ; berjalan di atas air, terbang di udara, menyingkat jarak, mendengar dari jauh
Yaknimenuju kesuatu tahap ma’rifah (mengenal Allah dengan hati). Jalan ini diawali dengan riyadhah ruhaniyah yang secara bertahap menempuh berbagai fase yang dikenal dengan maqam (jamak dari maqamat) dan hal (jamak dari hal) yang berakhir dengan ma’rifah kepada Allah.1 Namun banyak sekali orang-orang yang belum mengetahui tentang jalan
Setelahitu Allah swt memberikan kesembuhan kepada saya dari penyakit itu dan kembalilah hati saya sehat dan normal seperti sediakala. Kepastian-kepastian rasional dapat diterima kembali dan diakui kredibilitasnya secara meyakinkan, tetapi tidak melalui struktur aksioma bukti. ahli musyahadah dan mukasyafah. Saya katakan kepada diri sendiri
Itusemua adalah ranah syariat (pada aspek dzahir). Lalu, kalian masuk thoriqah mengamalkan wirid dan suluk untuk penyucian jiwa (nafs) dengan bimbingan guru mursyid. Itu adalah thoriqah. Jika Allah memberikan anugrah maka kalian akan mendapat cahaya-cahaya hakikat, berupa penyingkapan (mukasyafah) dan penyaksian (musyahadah) Al-Haq.
Muhadharahdan mukasyafah adalah dua kata yang hampir sama maksudnya dengan musyahadah. Kalau dapat diartikan sebagai adanya perasaan hadirnya atau beradanya Allah dalam hatinya, maka sebagai kelanjutannya terjadilah mukasyafah, yaitu tersingkapnya tabir yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah. Dengan demikian tercapailah musyahadah.
KkRyaj.